SABTU, 3-5-2025


IRVAN NASIR
Pemerhati Sosial
Rahmah El Yunusiyah dan Jejak Indonesia yang Menginspirasi Al-Azhar
Foto: tempo.co

Rahmah El Yunusiyah dan Jejak Indonesia yang Menginspirasi Al-Azhar

Pada 1956, M. Natsir seorang tokoh Islam dari Masyumi membawa Grand Seikh Universitas Al-Azhar, Mesir berkunjung ke Padang Panjang, tepatnya Pondok Pesantren Diniyyah Putri bertemu dengan pendiri, Rahmah El Yunussiyah.

Seketika sang Grand Seikh sebuah institusi pendidikan Islam paling maju di dunia terperangah menyaksikan bangunan yg begitu besar dan begitu banyak pelajar perempuan yang hilir mudik menuntut ilmu.

Sesuatu yang belum ada dan belum terfikirkan oleh Al-Azhar sebuah institusi pendidikan khusus untuk perempuan.

Semua berawal dari semangat Rahmah El Yunusiyah.

Pada 1923, saat dunia pendidikan perempuan masih dipandang sebelah mata, ia mendirikan Diniyyah Puteri — sekolah Islam modern pertama khusus perempuan di Indonesia. Rahmah punya keyakinan kuat: perempuan Muslim harus terdidik secara agama, cerdas dalam berpikir, dan terampil dalam hidup. Kurikulumnya unik: gabungan antara ilmu agama, keterampilan hidup, hingga kepemimpinan sosial.

Tapi, bagaimana kisah ini bisa sampai ke telinga dunia Islam di Mesir?

Di sinilah peran besar M. Natsir muncul. Sebagai Ketua Partai Masyumi dan salah satu pemimpin Islam paling berpengaruh di Indonesia, Natsir memahami betul nilai perjuangan Rahmah. Pada tahun 1955, saat Indonesia baru saja merdeka dan berusaha meneguhkan posisinya di dunia Islam, Natsir mengatur sebuah kunjungan penting: membawa Grand Syeikh Universitas Al-Azhar, Syeikh Mahmud Syaltout, berkunjung ke Diniyyah Puteri di Padang Panjang.

Bayangkan, seorang pemimpin tertinggi dari institusi Islam terbesar dunia, berdiri di halaman sebuah sekolah perempuan di kota kecil Sumatera Barat.

Grand Syeikh Syaltout terkesima. Ia melihat langsung bagaimana pendidikan perempuan dijalankan dengan penuh kedalaman ilmu dan keteguhan nilai Islam. Para siswi di Diniyyah Puteri tidak hanya pandai mengaji, tapi juga menguasai ilmu pengetahuan modern dan berbagai keterampilan. Sesuatu yang pada masa itu bahkan belum banyak diterapkan di negeri-negeri Muslim lainnya.

Kesan yang ditinggalkan kunjungan itu sangat mendalam. Setahun kemudian, pada 1956, Universitas Al-Azhar mendirikan Kulliyatul Banat — fakultas khusus untuk perempuan. Ini adalah langkah revolusioner dalam sejarah Al-Azhar yang sebelumnya hanya membuka pendidikan tinggi untuk laki-laki.

Semangat Rahmah El Yunusiyah, dibantu jaringan dan kepemimpinan M. Natsir, berhasil membawa suara perempuan Indonesia ke panggung dunia Islam.

Cerita ini mengajarkan kita sesuatu yang sangat berharga: bahwa perubahan besar lahir dari sinergi.

Ada Rahmah El Yunusiyah dengan visinya tentang pendidikan Islam untuk perempuan. Ada M. Natsir dengan kemampuannya membuka jalur diplomasi internasional. Dan ada keberanian bangsa Indonesia yg masih belia untuk memperlihatkan pada dunia, bahwa di ujung barat Nusantara, ada perempuan-perempuan yang berdiri tegak membawa cahaya ilmu.

Diniyyah Puteri hingga kini tetap berdiri kokoh di Padang Panjang. Menjadi bukti nyata bahwa mimpi besar yang dihidupi dengan kerja keras dan jaringan yang kuat, mampu mengubah sejarah.

Kisah Rahmah, Natsir, dan Grand Syeikh Al-Azhar ini mengingatkan kita: jangan pernah meremehkan kekuatan pendidikan, kekuatan mimpi, dan kekuatan kolaborasi.

Karena siapa sangka, dari ruang kelas sederhana di Minangkabau, lahir inspirasi yang menggema hingga ke jantung dunia Islam.

Selamat Hari Pendidikan Nasional.