Portal Berita Online
Di tengah riuh rendah suara politik nasional, Pemilu 2024 menghadirkan satu kejutan dari bumi Lancang Kuning. Namanya Dewi Juliani, S.H.—perempuan kelahiran Bandung, 2 Juli 1973, yang mencetak sejarah sebagai peraih suara tertinggi di daerah pemilihan Riau I.
Dengan 99.345 suara sah, ia melesat jauh di atas nama-nama yang lebih dulu dikenal publik. Tak banyak yang menduga, tetapi itulah politik: medan tempat ketulusan, rekam jejak, dan keterhubungan emosional dengan rakyat bisa mengalahkan popularitas semata.
Latar belakang Dewi Juliani bukan dari arus utama elite politik Riau. Ia bukan anak tokoh partai, bukan pula mantan birokrat atau pesohor. Ia seorang advokat. Profesi yang baginya bukan sekadar pekerjaan, tetapi medan pengabdian untuk menegakkan keadilan, terutama bagi mereka yang sering tak terdengar suaranya.
Dibesarkan di kota Bandung, Dewi melewati masa kecil yang sunyi dari kemewahan tetapi kaya dengan nilai-nilai. Ia belajar di SD Ignatius Slamet Riyadi (1980–1986), melanjutkan ke SMP BPI (1986–1989), lalu SMA Negeri 20 Bandung (1989–1992).
Masa remajanya dihabiskan dalam semangat belajar dan ketekunan. Jalan hidup kemudian membawanya ke Universitas Batanghari Jambi, tempat ia meraih gelar Sarjana Hukum pada 2010, di usia yang tidak lagi muda bagi kebanyakan mahasiswa.
Namun bagi Dewi, belajar adalah kerja batin yang tak mengenal usia. “Ilmu hukum adalah senjata untuk membela yang lemah,” ucapnya dalam sebuah wawancara.
Di Riau, Dewi dikenal karena kesederhanaannya dan kepeduliannya terhadap isu-isu akar rumput, mulai dari perlindungan hukum terhadap petani sawit kecil, perempuan korban kekerasan, hingga hak-hak masyarakat adat. Ia bukan orator besar, tetapi bila berbicara dalam forum, ia berbicara dengan isi.
"Bu Dewi itu hadir seperti angin segar di tengah politik yang sering keruh. Ia tak banyak janji, tapi cepat tanggap," ujar Iskandar, tokoh pemuda dari Kabupaten Siak.
Kemenangan politik Dewi tak bisa dilepaskan dari dua hal: kerja konsisten dan kedekatannya dengan masyarakat. Ia tidak hanya hadir saat masa kampanye. Jauh sebelum itu, ia aktif mendampingi masyarakat yang bersengketa dengan perusahaan, memberikan edukasi hukum, dan menjadi narasumber diskusi komunitas-komunitas perempuan di Pekanbaru, Dumai, dan Bengkalis.
"Ia punya keberanian khas perempuan Melayu—lembut tapi tegas. Dan ia tahu betul medan sosial-politik Riau," kata seorang aktivis pemberdayaan ekonomi masyarakat di Pekanbaru.
Ada satu hal lagi yang membuat sosok Dewi Juliani menarik: ia adalah istri dari Irjen Pol Toni Hermawan, perwira tinggi Polri yang pernah menjabat sebagai Kapolresta Pekanbaru, Kapolres Dumai, dan Kapolres Rokan Hilir. Namun Dewi tak berlindung di balik nama besar sang suami. Ia berdiri di atas kakinya sendiri.
"Dewi itu tidak menggunakan status suaminya untuk meniti karier. Justru saya lihat, dia ingin menunjukkan bahwa perempuan bisa berdaya karena kemampuannya, bukan karena bayang-bayang suami," tutur Nur Asiah, aktivis perempuan dari Bengkalis.
Pernikahannya dengan seorang jenderal polisi justru memberinya perspektif unik soal keamanan dan hukum di daerah. Ia mengerti bagaimana hukum harus ditegakkan dengan keadilan substantif, bukan sekadar prosedural. Dalam berbagai forum, ia menyerukan perlunya reformasi penegakan hukum yang berpihak pada rakyat kecil.
Masuknya Dewi Juliani ke Senayan dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) juga menjadi refleksi menarik bagi Riau, daerah yang selama ini lebih akrab dengan partai-partai berbasis Islam atau nasionalis kanan.
Namun Dewi justru membaca celah harapan: ideologi Pancasila dan semangat kebangsaan yang ditawarkan PDIP masih bisa bersenyawa dengan nilai-nilai budaya Melayu yang menjunjung musyawarah, keadilan, dan keberanian moral.
"PDIP tidak asing bagi masyarakat Riau bila komunikatornya seperti Bu Dewi, yang tidak dogmatis tetapi dialogis," ujar Taufik Abdullah, pengamat politik dari Universitas Lancang Kuning.
Tak heran jika Dewi kerap mengutip kearifan lokal dalam pidatonya: adat bersendi syarak, syarak bersendi Kitabullah. Ia percaya bahwa budaya bukan beban masa lalu, melainkan energi untuk masa depan.
Kini, di Komisi III DPR RI yang membidangi hukum, HAM, dan keamanan, Dewi membawa agenda-agenda rakyat Riau ke ruang parlemen: penguatan hukum agraria, reformasi kepolisian berbasis pelayanan publik, serta dukungan hukum untuk perhutanan sosial. Ia juga memperjuangkan pembentukan pusat bantuan hukum gratis bagi warga tak mampu di kabupaten/kota se-Riau.
“Sebagai orang hukum, saya tahu betul betapa sering rakyat kecil kalah bukan karena salah, tapi karena tak punya akses ke pengacara,” katanya dalam sebuah diskusi di Universitas Islam Riau awal April lalu.
Dewi Juliani adalah cermin dari sosok yang selama ini luput dari radar pusat, tetapi hadir dengan kekuatan penuh dari pinggiran. Ia tidak mewakili oligarki, tidak pula bagian dari politik dinasti. Ia hadir sebagai rakyat biasa, yang memilih jalan luar biasa.
Barangkali benar kata Chairil Anwar: “Aku ini binatang jalang, dari kumpulannya terbuang.” Tapi dalam konteks Dewi, kebersahajaannya adalah keberpihakan; dan keterbuangannya dari lingkaran elite justru membuatnya lebih dekat dengan denyut rakyat.
Dengan satu kursi di Senayan, ia mungkin tak bisa mengubah segalanya. Tapi dalam demokrasi, suara seperti Dewi Juliani adalah pengingat: bahwa politik bukan hanya milik mereka yang kuat, tetapi juga mereka yang tulus dan tak gentar. *