Dari tanah Duri yang menyimpan bara minyak dan sejarah, Muhammad Khalid melantangkan suara perjuangan istimewa Riau. Bersama pasukannya, ia siap mengawal aspirasi masyarakat sampai kehendak luhur itu terwujud.
Pagi belum terlalu tua ketika Muhammad Khalid mengenakan tanjak berwarna hitam dengan hiasan kuning emas. Matanya menatap lurus ke horizon dari halaman rumahnya di Pekanbaru.
Lelaki tinggi tegap kelahiran Duri, Kecamatan Mandau, Kabupaten Bengkalis, 17 Februari 1978 itu baru saja menyelesaikan dzikir pagi. "Ini bukan tentang ambisi, ini tentang amanah dari sejarah," katanya, tenang tapi tegas.
Muhammad Khalid bukan sekadar pemimpin organisasi massa. Ia adalah Panglima Utama Front Pembela BUMI Lancang Kuning (FPBLK), sebuah organisasi rakyat yang lahir dari kegelisahan panjang atas status Riau di dalam Republik. Ia juga dipercaya oleh Lembaga Adat Melayu Riau (LAMR) sebagai Panglima Madya Tameng Adat, posisi strategis dalam sistem pertahanan adat Melayu Riau.
Sebutan “panglima” tidak datang begitu saja. Ia bukan pula sosok yang hanya fasih dalam orasi, tetapi tak pernah absen dalam aksi. Khalid adalah pemimpin lapangan. Ia pernah mengawal barisan ribuan orang ketika LAMR mendeklarasikan perjuangan menjadikan Riau sebagai daerah istimewa, setara dengan Yogyakarta atau Aceh. Baginya, ini bukan sekadar politik identitas, melainkan upaya mengembalikan marwah sejarah yang pernah tergadai.
Perjuangan daerah istimewa, menurut catatan Khalid, bukan hal baru. Ia menelusuri dokumen-dokumen tua, bahkan Arsip arsip Surat Kabar peninggalan Belanda, risalah resolusi partai, arsip keamanan negara, hingga berita lawas dari tahun 1953—tahun ketika api aspirasi rakyat Riau pertama kali menyala di bawah langit Istana Siak Seri Indrapura.
Tanggal 1 April 1953, masyarakat Siak membentuk Gerakan SWAPRAJA, menuntut pengakuan status istimewa sebagaimana Aceh dan Yogyakarta. “Sultan Syarif Kasim II diminta kembali memimpin,” ujar Khalid. Beberapa partai seperti Masyumi, PNI, PDI, dan WD.I.T cabang Bengkalis ikut menandatangani resolusi yang menuntut pemulihan marwah Kesultanan Siak.
Puncaknya terjadi saat Wakil Presiden Mohammad Hatta berkunjung ke Istana Siak pada 10 April 1953. Ribuan rakyat berkumpul, orasi menggema, menuntut keadilan sejarah.
Tapi seperti arus sungai Kampar yang berubah arah, perjuangan ini menghadapi gelombang penolakan, terutama dari wilayah Bagan Siapi-api. Kepala Polisi Provinsi Sumatera sampai harus mengeluarkan surat rahasia yang mengisyaratkan bahwa gerakan ini dianggap mengganggu stabilitas nasional.
“Sejak itu, perjuangan seperti dilenyapkan dari ingatan publik,” kata Khalid. “Tapi bagi kami, sejarah tidak pernah mati. Ia hanya menunggu waktu untuk dibangkitkan.”
Khalid tumbuh di persimpangan antara sejarah dan kenyataan. Masa kecil nya bersekolah di SD 040 Duri dan SD 006 Senapelan Pekanbaru, lalu meneruskan ke MTSN dan MAN 2 Pekanbaru, hingga Pernah di paksa Keluarga Mendaftar di Fakuktas Hukum atau di Fakultas Usuliddin, namun Jalalan lebih menarik bagi nya sebagian Laboratorium Sosial, Hukum dan Kemanusiaan,Serta memilih Pernah Menjadi Relawan Kesehatan yang Fokus dalam Pendampingan Masyarakat Marginal di Pekanbaru, menjadi Aktivis Islam yang Lantang dalam Penegakan Amar Ma'ruf Nahi Munkar di Bumi Lancang Kuning ini.
“Saya anak kampung yang belajar dari tradisi, kitab, dan kenyataan hidup,” ujarnya. Pendidikan formal mungkin tidak membawanya ke jenjang tinggi, tapi ia tekun mengasah pikirannya lewat pergaulan dengan ulama, tokoh adat, dan aktivis Melayu.
Dunia usaha ia geluti untuk menopang keluarga: seorang istri dan tiga anak yang menjadi tumpuan harapan. Tapi, medan utama Khalid bukan di pasar, melainkan di jalan-jalan tempat aspirasi bergemuruh.
"Negeri ini berdiri di atas kontribusi Riau, tapi mengapa Riau hanya diperlakukan sebagai penghasil, bukan pewaris?" ia bertanya retoris. Ia menyebut kontribusi minyak dan gas Riau ke kas negara, pengorbanan sejarah dari Sultan Syarif Kasim II yang menyumbangkan wilayah dan hartanya demi Republik, sebagai alasan moral untuk mendudukkan Riau di tempat yang semestinya.
“Kalau Yogyakarta diistimewakan karena kesultanan, dan Aceh karena syariat dan sejarah perjuangan, mengapa Riau dilupakan, padahal memiliki ketiganya?”
Bagi Khalid, perjuangan bukan soal pidato atau baliho. Ia percaya bahwa jalan istimewa untuk Riau harus diperjuangkan dengan keberanian, konsistensi, dan kearifan.
Panglima Khalid merupakan salah seorang Konsolidator Laskar Perjuangan Daerah Istimewa, Bersama FPBLK dan Organisasi kelaskaran lainnya ia mengkonsolidasikan gerakan di akar rumput. Mereka menyatakan siap dikirim ke Jakarta, ke DPR, ke kementerian, atau ke mana pun untuk memastikan bahwa suara rakyat Riau tidak lagi diabaikan.
LAMR pun menempatkan Khalid bukan hanya sebagai simbol kekuatan, tapi sebagai penjaga nilai. Sebagai Panglima Madya Tameng Adat, ia memikul tanggung jawab untuk menjadi tameng bagi budaya dan kehormatan Melayu.
“Istimewa bukan berarti minta keistimewaan,” ujarnya. “Istimewa artinya mengembalikan posisi Riau pada tempat yang adil dan bermartabat.”
Kini, usia Khalid menjelang separuh abad, tapi Tetap Gagah dengan Ciri Khas Rambut yang Panjang,menambah kesan sosok Panglima yang Kharismatik, dengan semangatnya tak surut. Ia percaya, Riau tidak sedang mencari pengakuan kosong, tapi sedang memperjuangkan keadilan sejarah. “Kami bukan pengemis otonomi,” katanya. “Kami adalah pewaris peradaban.”
Dari Mandau ke Pekanbaru, dari Siak ke Senayan, suara perjuangan itu terus bergema. Di tengah arus zaman yang sering menenggelamkan nilai-nilai, Muhammad Khalid berdiri sebagai panglima yang menjaga marwah, sejarah, dan harapan sebuah negeri yang bernama Riau. *
Penulis Azmi bin Rozali